Jogja, kota yang istimewa, ya banyak yang bilang kota ini sangat indah, penuh dengan ke istimewaan karenanya di sebut Daerah Istimewa Yogyakarta
Memang menurutku kota ini sangat istimewa, teramat sangat istimewa
jika kau tidak punya kenangan buruk di kota ini.
Aku memang bukan yang pertama kalinya ke kota ini, ini yang kedua
kalinya, bukan pengalaman pertama yang membuat kota ini sesak untukku,
melainkan orang yang tinggal di kota ini.
Orang itu. Yah lelaki itu.
Berhubung kuliahku sedang kosong aku menepati janjiku untuk datang
ke kota istimewa ini.
Aku sudah sampai jogja
Aku mengirim pesan padanya, tidak berharap dia balas, Cuma hanya
ingin tahu bagaimana reaksinya .
Oh iya, mau aku carikan penginapan? Aku punya teman yang bisa
bersamamu
Dia membalasnya, cukup panjang, perhatian pula, tapi ini bukanlah
perhatian, dia pernah berjanji ketika aku di jogja, dia akan mencarikan
penginapan untukku .
Engga usah, aku sama temen SMAku, perempuan
Balasku
Oh yaudah, mau jalan?tapi paling agak malem, aku masih banyak
tugas
dia juga berjanji membawaku berkeliling kota tua ini
dia juga berjanji membawaku berkeliling kota tua ini
Ga usah, aku masih bisa sama temen aku
Kamu berapa hari disini ?
Aku menghitungnya dengan jari 7 hari cukup untukku berada disini
Seminggu
Baiklah masih banyak waktu, tunggu aku
Ga usah repot, aku kesini mau mengunjungi temanku, bukan kamu,
jangan merasa tak enak
Gapapa, aku sudah berjanji
Iya
Dia tak membalasnya lagi, mungkin benar-benar sibuk. Belakangan
ini smsku kalau tak penting juga jarang di balasnya.
“Smsan sama siapa dy?” Tanya temanku Diana yang datang menjemputku
di terminal tadi seraya menyodorkan segelas teh dingin .
“Teman” jawabku “Aku ngasih tau kalau aku sudah di jogja”
Dia memanggut “Jogja panas ya, ga seadem di bandung”
Aku hanya menangguk, iya dibandingkan bandung kota tempatku
menuntut ilmu jogja memang lebih panas .
“Kamu putihan” Lanjutnya dengan senyum
“Dan kamu...” Aku memandanginya dari atas sampai bawah “mau aku
bilang iteman?”
Kami berdua tertawa lepas.
“Istirahatlah, anggap kostan sendiri, sore baru kita jalan-jalan”
Aku mengangguk dan merebahkan badan, 9 jam perjalan ke kota
istimewa ini, melelahkan memang, tapi demi janji dengan Diana aku rela. Ya
janji dengan Diana, bukan janji dengan pria itu.
***
Janjian di depan kampus jam
7 bisa ?
Pesan pertama yang kuterima setelah 2 hari disini. Kudiamkan
sejenak pesan itu.
“Hari ini kamu ke kampus ga Na ?” Tanyaku ketika ia selesai sholat
subuh.
“Iya, masuk pagi jam 7, ada apa?”
“Aku ikut ya. Sekalian liat-liat”
“Tapi aku sampe sore loh ga bisa nemenin kamu keliling kampus, oh
iya aku lupa kamu udah 2 hari disini belum aku ajak keliling kampus aku” Diana
menepok jidatnya.
“Haha santai Na, masih lama pula aku disini, aku ikut ya.. aku mau
ketemuan sama temen, ga ganggu kamu ko”
“Cieee temen apa temen tuuuu”
Aku hanya tertawa mendengar ledekan teman satu bangku ketika SMA
itu.
Iya bisa
Balasku seraya mengambil handuk untuk bersiap-siap hari ini .
“Udah lama di sini ?” Tanyanya.
Menunggu selama 15 menit tidaklah lama memang, tapi cukup
menyebalkan mengingat ini lingkungan yang asing bagiku.
“Lama apa? Nungguin disini?” Tanyaku balik.
Dia mengangguk lalu duduk disampingku.
“Engga ko” Aku menggeleng.
Dia mengangguk lagi lalu memainkan kakinya. Tuhan aku sangat rindu
lelaki ini, lelaki yang pernah mengisi hariku, lelaki yang selama 3 tahun ini
selalu menjadi bayang-bayang. Lelaki kurus yang dulu pernah...
“Hmm.. jalan yuk, atau mau duduk disini aja sampe sore?” Ujarnya
membuyarkan lamunanku.
“Jalan-jalan aja” jawabku
Dia lalu bangkit berdiri aku berjalan di belakangnya menatap
punggungnya.
‘Tidak berubah’ Gumamku dalam hati, Rama Herdiansah. Ya
banyak yang tidak berubah dari dirinya tetap kurus, tingginya pun hanya
bertambah sedikit. Beda saat pertama kali bertemu dengannya saat kelas 1 SMA,
dia yang kuanggap masih segendut dulu sudah berubah 180 derajat. Mungkin dulu
aku yang gendutan. Ingatanku melayang pada kejadian 3 tahun lalu
Aku jemput ya abis ashar di depan gang rumah kamu
Waktu itu ada acara buka puasa bersama teman-teman SD yang sudah
menghilang 3 tahun silam. Sebenarnya aku tidak ingin pergi berdua dengannya,
terlebih aku sudah janji dengan temanku Natasha akan berangkat berdua. Tapi
siapa sangka, dia akan menjemput. Segera ku kirim permintaan maafku ke Natasha
Sha, maaf.. aku ga bisa bareng kamu
Kenapa Dy? Kamu ga dateng? Klo kamu ga dateng aku juga gadateng.
Bukan sha, aku bareng dia....
Ohh si gendut itu?? Okeoke, tapi tetep dateng kan
Iyaa
Senangnya punya teman yang pengertian.
Setelah solat ashar dan berpakaian rapih (Red: setelah
mengeluarkan semua baju dilemari) akhirnya
aku memakai baju biru dengan rompi senada, rambutku di biarkan tergerai. Aku
kira abis sholat ashar dia langsung berangkat, ternyata meleset dugaanku. Jam
setengah 5 dia baru berangkat dari rumahnya yang memang agak jauh dari rumahku.
Memang sih setengah 5 juga abis ashar.
Setelah menunggu beberapa menit yang bagiku beberapa jam,
datanglah sosok itu. Pada awalnya aku sama sekali ga mengira, sebuah motor yang
melintas didepanku berputar arah dan berhenti tepat samping kananku dan bilang
“Ayo naik”
Aku sempat terdiam sekian lama baru menyadari ternyata itu si
gendut.
Jangan tanya apa yang kami bincang selama perjalanan ke tempat
buka puasa bersama itu, kami berdua hanya diam, ya sesekali menanyakan apakah
dia nyasar atau tidak, karena sejujurnya masuk gang rumahku sangatlah
membingungkan.
“Waaa” Aku menabrak tiang di depanku, tepat di depanku.
“Hahaha kamu sih.. lagian kan aku udah teriak awas ada tiang
depan kamu, kamu malah terus jalan” Ujarnya cekikikan sambil menahan tawa yang
mungkin akan meledak keras.
Aku hanya mengelus keningku, semoga saja tidak benjol.
“Merah banget tuh hahahaha” Tak henti-hentinya ia tertawa.
Menyebalkan. “Sini sini aku elus-elus biar ga benjol” masih dengan tertawa ia
berusaha menghampiriku.
“Makannya lain kali kalo jalan jangan sambil ngelamun... kejedor
kan” entah sadar atau tidak dia mengelus-elus keningku dengan ujung bajunya.
Tangannya yang besar dan hangat sangat terasa di keningku walaupun itu
terlapisi dengan bajunya.
Rasa sakit di kening ini hilang entah meluap kemana, mungkin
sekarang kedua pipiku yang merah bukan kening lagi.
“Dah, semoga ga benjol” sekarang di usapnya keningku dengan kedua
tangannya. “Hati-hati ya nak kalau jalan.. hayuk jalan lagi” Dia berjalan
perlahan didepanku.
Aku masih diam memandang punggungnya takjub. Desaran apa ini yang
ada di dadaku?
“Ehh.. masih diem.. sini sini” Dia berbalik dan menarik tanganku
dalam genggamannya.
Beruntunglah dia berjalan di depanku. Jika tidak, aku tak dapat
membayangkan seperti apa sekarang mukaku ini.
***
“Jadi dia itu mantanmu” Diana menyiapkan makan malam untukku.
Aku mengangguk lalu membantunya mengangkat piring.
“Kenapa putusnya?”
“Ih kepo deh Na”
“Gitu.. aku baru tau loh kalau dia itu mantanmu, hmm mau minta
penilaian aku ga tentang dia?”
Aku mengangguk, selera cowok Diana ini bisa di bilang tinggi,
yaahh untuk si dia pasti berada paling bawah.
“Aku liat dia baik, ga cakep sih... tapi lumayanlah...”
“Lumayan ga jelek-jelek amat” Ujar kami kompak sambil tertawa.
Selera cowokku tidak setinggi selera Diana, tapi entah kenapa pacar-pacar Diana
jauh dari selera dia.
“Hei berisik amat” Seorang cewek dengan rambut sepinggang muncul
didepan pintu kamar Diana.
“Rahmaaaaaaaaaa” Aku kontan memeluknya eraat.
“Aaaa.. Audyyyy.....” pelukan dia lebih erat ternyata.
“Ga bilang lagi disini! Dari kapan ??” Lanjutnya setelah puas meremukan
tulangku .
“Udah dari kemarin”
“Ga bilang aku ih lupa sama aku nih, inget sama Diana aja” Bibir
kecilnya maju beberapa centi.
Aku hanya tertawa, Rahma ini teman SDku teman sebangkuku juga,
teman terbaaiik sepanjang masa.
“Jadi kamu ketemu sama si gendut itu toh” Ujar Rahma dengan mulut
menuh makanan.
“Kamu kenal Ma?” Tanya Diana heran.
“Ya kenallah Na, dia itu temen SD aku sama Audy juga, dulu mah
gendut banget ih tembem” masih dengan mulut penuh makanan dia berkomentar.
“Tapi aku ga nyangka dia sekurus itu”
“Everybody can change Ma..” Ujarku.
“Cieee ngebelain..” Rahma malah meledekku.
“Namanya juga mantan Ma.., wajar” Diana malah ikut-ikutan meledek.
“Kalian ih...”
Hari itu, hari terbaik sepanjang hidupku.
***
Ga kerasa udah 5 hari di jogja. Sudah 3 hari berturut-turut juga
jalan sama dia. Dan sudah kesekian kali Rahma dan Diana sibuk bikin aku CLBK
sama dia.
“Ga ada salahnya kan Dy.. nyelesein cinta yang belum kelar” Ujar
Diana ketika malam sebelum tidur.
“Emang ga salah si Na...”
“Tapi dia ga nembak-nembak gitu?” Ujarnya gemes.
Nembak? Emang dulu juga dia ga pernah nembak. Ucapan Diana
membawaku ke 4 tahun lalu.
Aku suka kamu.
Ketikku kepada sebuah pesan di jejaring sosial.
Entah apa yang mendorongku untuk mengungkapkan 3 kata baku tersebut,
2 tahun terakhir kami sudah tidak berhubungan, lebih tepatnya 4 tahun lalu
hubungan baikku dengannya berakhir. Dia itu sahabatku, aku menganggapnya begitu
dan begitu juga sebaliknya. Orangtuaku dan orangtuanya sudah saling kenal,
bahkan terkadang aku main ketempat kerja ibunya hanya untuk sekedar menyapa.
2 tahun sekelas dengannya dan 2 tahun pula kami saling kenal satu
sama lain. Pulang sekolah sendirian adalah hal yang paling tidak aku suka,
ayahku sudah tidak bisa mengantar jemput lagi lantaran semakin sibuk, padahal
sekolah dan rumahku jaraknya ribuan meter. Dialah yang pertama kali mengajakku
pulang naik angkutan umum, bayangkan anak umur 8 tahun naik angkutan umum,
tentu saja aku sangat takut. Tapi dia meyakinkanku bahwa selama ada dia semua
akan baik-baik saja. Ternyata benar, setelah hari itu aku sering banget pulang
naik angkutan umum dengannya. Tidak berdua, melainkan dengan teman-teman yang
searah dengan kami. Dari situ aku mulai menganggapnya lebih dari apapun. Super
Hero
Kenaikan kelas 4 ternyata membuat kelas kami terpisah. Banyak
hal-hal aneh yang berubah pada dirinya, seperti tidak mau naik angkot bareng,
kalau ketemu temen-temennya pasti di cie-cie-in. Puncaknya ketika sholat dhuhur
berjamaah, kedua teman kelasnya menghampiriku.
“Audy, si Rama kan suka sama kamu?” Ujar Dinda, saudaraku dan juga
teman sekelas dia.
“Aku? Audy yang lain kali din, kan disini yang namanya Audy ada
dua” jawabku tenang.
“Iya dy, tapi dia sukanya sama Audy Azzahra. Yang punya nama itu
kamu doang kan” Balas Fany teman terdekat Dinda.
Omongan Fany membuatku diam, berfikir apa benar dia suka denganku...
Sejak saat itu semua berubah, benar-benar berubah. Aku menghindari
dia sebisa mungkin. Entahlah ini benar apa salah. Yang penting sahabat itu
sahabat. Tidak akan bisa berubah menjadi cinta. Semenjak dihindari, dia pun
berbeda kepadaku, kalau berpapasan dia malah menunduk atau bahkan buang muka.
Aku cuek saja. Namanya juga anak kecil. Seiring berjalannya waktu pikiran itu
sudah hilang, dia pun menghilang, aku dengar ada beberapa perempuan yang jatuh
cinta padanya. Maklum pribadi dia humoris, baik pula. Siapa wanita kecil yang
tidak jatuh hati padanya.
Memasuki kelas 6 ada hal baru yang membuatku sangat terkejut, ternyata
aku sekelas dengan Rama. Ya, kebenaran pahit yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak
butuh waktu lama untuk menghilangkan moment canggung 2 tahun silam itu, karena
kami suka baca komik dan kami suka matematika, karena dua alasan itulah akhirnya
kami dekat lagi, terkadang pulang bareng. Ternyata kedeketan kami mengundang
salah satu teman Geng-ku cemburu. Temanku mengutarakannya saat aku satu Geng
dalam season curhat, temanku bilang suka sama dia, dan temanku cemburu ketika
aku dekat apalagi bercanda dengan dia.
Emang dasar aku yang bodoh atau tidak enak hati atau gimana, aku
mulai menjauhinya lagi. Mulai membatasi segala kontak fisik dengannya
Sepertinya dia menyadari dan kami saling tak kenal satu sama lain. Sampai
kelulusan .
Beruntunglah orang yang menciptakan jejaring sosial yang populer
kala itu. Berkatnya aku bisa bertemu dia lagi, berkomunikasi, saling menanyakan
kabar, bersenda gurau, sampai aku bilang suka padanya. Dan dari situ pula kami
jadian selama 2 tahun LDR (Long Distance Relationship).
“Woin ngelamun lagi!!” Diana membuyarkanku.
Aku tersenyum. “Aku Cuma takut”
“Takut kenapa?”
“Takut dia sudah ada yang memiliki”
Diana diam, begitupula Rachma, tidak membalas ucapanku.
***
“Mitos beringin alun-alun jogja?!” Ujarku terperangah. Hari ini
dia mangajakku ke Alun-alun Jogja, tempat yang sangat ramai namun sejuk dengan
banyak pohon besar disekitar Alun-alun.
Dia hanya mengangguk lalu tersenyum “kamu belum pernah denger?”
Aku menggeleng.
“Kamu lihat dua pohon beringin itu ?”
Aku melihat arah telunjuknya. Ya aku melihat dua pohon beringin
yang sangat besar berletak berdekatan, namun tidak terlalu dekat.
“Ada apa dengan pohonnya?” Ujarku heran. “Horor?” Lanjutku.
“Bukan” Dia diam, terlalu lama.
“Lantas?” Ujarku tidak sabar.
“Ada mitos, kalau kita berjalan melintasi dua pohon beringin itu
sambil menutup mata maka harapanmu akan terkabul” Ujarnya sambil menatapku.
“Harapan? Harapan apa?” Aku semakin tak mengerti.
“Harapan apapun”
“Kan tinggal jalan doang apa susahnya” Balasku tetap tak mengerti.
“Ih begini ya sayang..” Dia memegang pipiku membiarkanku menatap
mukanya yang geregetan. Jiwaku hilang sesaat. “Kan tadi udah di bilangin sambil
nutup mata, jadi pas jalan mata kamu ditutup pake kain hitam yang di jual
mas-mas itu tu” Dia melepas tangan kanannya dan menunjuk beberapa pedagang kaki
lima yang menjual potongan kain hitam. Aku mengangguk. “Udah gitu kamu jalan
melewati dua pohon beringin itu, nah kalau kamu berhasil maka harapan kamu akan
terkabul” Lanjutnya.
Aku mengangguk faham. Harapan? Harapanku..
“Harapanmu apa?” Tanyanya seakan bisa membaca pikiranku.
Aku menatapnya. Lalu tersenyum “Rahasia, kepo banget”
“Oke! Kalau gitu kamu siapkan ikutan. Mas mas saya beli kainnya
satu” Ujarnya kepada para pedagang itu tanpa meminta persetujuanku.
“Apaan sih aku kan belom bilang mau” Aku berlagak menolak. Padahal
aku sendiri penasaran ingin mencobanya.
“Udah ih jangan bawel” Dia memakaikan kain penutup mata itu dari
depan, sehingga badan kecilku tenggelam dipelukannya. “Semoga harapannya
terkabul” Aku bisa merasakan nafas hangatnya ditelinga kananku.
Aku tersenyum. Aku
berharap bisa sama kamu lagi dan ini gak akan berakhir...
“Dah siap ya..”Dia memegang lenganku. Aku merasakan hangat telapak
tangannya saat menyentuh kulitku. Duniaku hilang sekejap. “Satuuu...” Dia
memutarku.
Aku panik. “Eh ko diputer?”
“Ini juga salah satu prosedurnya” Jawabnya santai. Sungguh sangat
santai.
“Tapi tadi kamu ga bilang”
“Dua...” Dia memutarku mulai cepat. Ini keterlaluan. Aku tahu dia
sedang tersenyum menertawaiku sekarang.
“Tiga! Nah siap jalan! Ayo semangat aku ada di ujung sana!” Ujarnya
kemudian berlari.
Gimana bisa jalan ini pusing banget!
Aku mulai melangkahkan kaki kananku. Aman sudah tidak terlalu
pusing. Aku melangkah dengan hati-hati, aku ingat banyak sekali para wisatawan
dan pedagang asongan di sekitar sini, aku salah ambil langkah bisa-bisa aku
menabrak mereka dan menjadi bahan tertawaan batinku.
Selangkah demi selangkah rasanya begitu lama. Keringat dingin
mulai bercucuran. Tapi semilir angin jogja menghapusnya membuat permainan ini
sangat menyenangkan dan berjalan tenang untukku. Kalau mitos ini benar maka
harapanku akan terkabul. Harapan aku bisa tetap bersamamu selamanya, harapan
bahwa ini semua tidak akan berakhir, tidak akan ada apa-apa yang menghalangi
kita.
Brugh! Aku menabrak orang. Hilang semua
hal yang aku pikirkan. Aku gagal
“Selamat Audy.. kamu berhasil” Dia menggendong tubuhku
tinggi-tinggi setelah melepas penutup mataku .
Aku tidak bisa berkata apa-apa, jantungku berdetak lebih dari
biasanya, badanku terasa ringan, rasanya ingin sekali aku menangis sambil
memeluknya.
“Harapanmu pasti terkabul” Ujarnya mulai menurunkanku.
Aku masih tersenyum menatapnya. Iya aku berhasil. Harapanku akan
terkabul.
“Coba ucapkan harapanmu apa...” Ujarnya sambil membelai rambut
yang menutupi sebagian wajahku.
“Aku ingin....” Belum selesai ucapanku mendadak air mukanya
berubah. Tegang.
“Mila... Kamila” Aku mengkerutkan kening. Dia pergi meninggalkanku
berjalan ke arah seorang perempuan mungil yang mungkin sudah berada di
belakangku. Dari tadi.
“Mil ini ga seperti yang kamu pikirkan...” Perempuan itu menepis
tangan Rama yang memegang erat lengannya. Aku tambah tak mengerti. Siapa
perempuan itu? Kenapa dia begitu.
“Ayolah mil.. aku sama dia cuma sahabat” Dia merayu perempuan
didepannya. Aku mengerti. Ya aku sangat mengerti.
Aku berjalan menuju mereka “Hai, aku Audy, Audy Azzahra” Aku
menyodorkan tanganku ke arah perempuan itu. “Sahabatnya” Aku menunjuk Rama
dengan ujung mataku.
Perempuan itu menatapku lalu menatap Rama. Uluran tanganku masih
belum dibalas. Aku tersenyum “Percayalah aku benar-benar sahabat Rama” Kali ini
aku memberanikan diri menggenggam tangan mungil itu.
Perempuan mungil itu menatapku lagi “Kamila, Kamila Sabila”
“Aku tahu, dia sudah cerita banyak tentangmu” Perempuan itu
menaikan sebelah alisnya tanda tidak percaya dengan ucapanku. “Ya kan Ram” Aku
menatapnya, sulit sebenarnya menatap mata Rama di saat kondisi seperti ini.
“Oh iya.. aku cerita ke dia tentang kamu, tentang kita jadian” Entah
kenapa kata terakhir yang dia ucapkan membuat dadaku sesak. “Aku baru mau
ngenalin dia ke kamu” Lanjutnya. “Dia sahabatku sejak kecil, lagi ada di jogja
ngunjungin temannya. Tadi aku baru ketemu dia dan tidak sadar langsung.. yah..
kamu melihatnya..”
Bukan, bukan seperti itu kejadiannya dadaku benar-benar terasa sesak,
ingin sekali menangis saat itu juga, di depannya.
Di depan mereka berdua. Di depan semua orang yang menjadi saksi kejadian
memilukan ini.
Perempuan mungil yang menyebut dirinya Kamila mengangguk lalu
tersenyum. “Maaf aku sudah berburuk sangka padamu” Dia balas memegang erat tanganku.
Aku tersenyum kepadanya. Cantik kalau dilihat lebih lama. “Gapapa
ko, wajar kayanya, apalagi kan kalian pacaran hehe” Ujarku kaku. “Emm
sepertinya aku ganggu waktu kalian” Aku menetap mereka berdua. “Jaga baik-baik
ya pacarmu” Aku mengelus
lengan Rama.
Rama menatapku lama. Ada sedikit kilatan mata yang bisa aku
artikan dia tak ingin semua ini terjadi. Tak ingin beradu mata dengannya lebih
lama aku mengalihkan pandanganku kepada Kamila “Rama orangnya baik ko, jangan
berfikir macem-macem” Aku tersenyum menatapnya. Perempuan cantik itu mengangguk.
“Kami pergi dulu ya Dy” Ujarnya seraya menarik tangan Kamila.
Aku mengangguk. Mereka berbalik. Pergi menjauh dariku. Kedua
kalinya aku jatuh dalam hal yang sama. Hal dimana saat dia meninggalkanku,
pergi dengan perempuan lain begitu saja.
Aku menghela nafas panjang, berbalik arah pulang dengan ketidak
karuan. Sedih dan kecewa lebih mendominasi perasaanku saat itu.
Yang aku takutkan terjadi. Mitos memang hanya mitos, tidak sebaiknya
aku terlalu menaruh harapan pada mitos.
Rintik hujan menemani soreku kala itu.
Berlebihan memang. Tapi kurasa langit turut bersedih dengan
kisahku.
***
“Sering-sering main ke jogja ya Dy...” Diana memelukku.
“Jangan kapok Dy main kesini..” gantian Rahma yang memelukku. Aku
tersenyum kepada mereka berdua.
“Dia masih tidak menghubungimu?”
Aku tersenyum. Semenjak kejadian itu tidak pernah ada satu pesan
masuk yang ia kirim kepadaku. Bahkan ketika aku akan meninggalkan kota ini.
“Kalau sudah sampai bandung hubungi kami”
Aku mengangguk “Jaga diri kalian baik-baik ya, aku sayang kalian"
END